Kamis, 04 September 2008

DUO EXHIBITION: Gatot Indrajati - Suraya


“DIALEKTIKA RUANG”

06 – 25 September 2008

Kurator: Suwarno Wisetrotomo

Srisasanti Gallery kali ini kembali menggelar pameran yang menampilkan dua orang seniman-lukis muda yang mempunyai talenta luar biasa. Pameran akan berlangsung dari tanggal 06 September – 25 September 2008, bertempat di Srisasanti Gallery, Jalan Palagan Tentara Pelajar No.52 A Sleman, Yogyakarta. Pameran ini dikuratori oleh Suwarno Wisetrotomo.

Dengan menghadirkan kurang lebih 20 karya lukisannya, mereka, Gatot Indrajati dan Suraya, mempersembahkan segala pemikiran dan perenungan mereka atas ruang. “Dialektika Ruang” adalah tema yang membingkai pameran mereka berdua. Sebuah kolaborasi pikiran atas kenyataan imajiner bernama: ‘ruang’ yang bisa berarti apa saja; sebuah kehidupan atau drama yang tak pernah berakhir. Bisa juga tentang dialog, tentang hasrat, juga tentang pertentangannya sekaligus. Karya-karya kedua pelukis ini berpotensi menggugah kesadaran tentang banyak hal; dari kegembiraan, kesunyian, lingkungan yang terancam, perasaan teralienasi, hingga batas akhir.

Gatot Indrajati dan Suraya

Gatot Indrajati, adalah pelukis muda berbakat yang namanya mulai mencuat ketika diumumkan sebagai salah satu dari 5 orang pemenang kompetisi “Indonesia Art Award 2008”. Karyanya yang berjudul “War for Fun” adalah sebentuk sikap ironinya terhadap situasi hari ini. Ketertarikannya kepada kayu atau boneka kayu, membuat visual karya-karyanya tampak unik, lucu, dan menarik. Dari prestasi dan kemudaan usianya, Gatot akan menjadi harapan masa depan atas seniman Indonesia yang berkualitas.

Suraya merupakan pelukis dengan talenta realistik yang luar biasa. Pernah belajar khusus kepada Yuswantoro Adi dan Hadi Susanto yang dikenal sebagai pelukis-pelukis realistik Jogja, membawanya kepada suguhan visualnya seperti sekarang. Kepeduliannya kepada tema-tema lingkungan, seolah memberikan moment bagi teknik realistiknya untuk berkembang dan mencapai kesempurnaan. Realisme foto dan interpretasinya yang menarik dalam menggunakan teknik kolase citraan gambar, membuat visual karyanya tidak hanya ala kadarnya namun menohok kesadaran yang melihatnya. Sebagaimana Gatot, Suraya merupakan benih bagi masa depan seni rupa Indonesia yang mumpuni.

Malam Pembukaan: Sabtu, 06 September 2008

Pukul: 19.30 WIB

Pameran dikuratori sekaligus akan dibuka oleh Suwarno Wisetrotomo

Dimeriahkan oleh: Musik, Ruzan & Gigs (Blues)

Untuk keterangan lebih lanjut mengenai pameran ini bisa menghubungi:

Srisasanti

Galeri: Jl. Palagan Tentara Pelajar No. 52 A, Sleman, Yogyakarta

Telp/Fax: (0274) 866 765

Head Office: Jln. Tentara Rakyat Mataram no.5 Jetis, Bumijo, Yogyakarta

Telp. 0274 561 922

Email: info@srisasanti.com

dan srisasanti@yahoo.com

Contact Person:

Fery Oktanio Program Manager (081322903168)


Didukung oleh:






http://kronikajogja.blogspot.com



Dialektika “Ruang”

Catatan Kuratorial: Suwarno Wisetrotomo

Adakah batas dan perbedaan, antara “yang dipikirkan” dengan “yang dibayangkan”? Lalu di manakah pula “yang dirasakan” berada? Ketiga hal ini adalah perkara aktivitas “memikirkan”, “membayangkan”, dan “merasakan” yang berpeluang saling tumpang tindih, serta berebut posisi terpenting dalam keseluruhan proses kreatif seorang seniman. Pada area itulah seorang seniman, atau perupa, berada dalam tegangan yang mendera, dan tak jarang membuat suasana (dirinya) menjadi penuh tekanan. Fenomenanya beragam; ada yang demikian dikuasai oleh “pikirannya” hingga dirinya terbelit dan tertimpa pikirannya sendiri. Ada pula yang demikian larut oleh “bayangannya” hingga dirinya tenggelam dalam bayangannya sendiri. Serta ada pula yang demikian terbius oleh “perasaannya” hingga dirinya menjadi kehilangan nalar atau akal sehatnya.

Pada umumnya, seniman mudah kisruh dan larut ke dalam situasi ketiga-tiganya. Antara memikirkan, membayangkan, dan merasakan, tidak sempat dicermati dan dipetakan. Hal demikian bisa dilacak melalui produk karyanya. Betapapun, produk karya seni rupa (baca: antara lain lukisan) adalah cerminan dari pola dan struktur pikiran, ideologi, sikap hidup dan kehidupan, serta hasrat pengucapan seorang seniman. Di sekitar kita, mudah ditemukan karya-karya yang demikian berat dimuati semacam pesan produk pikiran senimannya; semua yang ada dalam kepalanya ingin diungkapkan. Karena itu, karyanya – dalam bidang gambarnya – penuh sesak dengan bentuk, yang dihasratkan mewakili pikiran-pikirannya, betapapun sangat fragmentatif, dan mungkin saling tidak nyambung. Biasanya, dalam kondisi demikian, sang seniman lupa atau abai (bisa juga tumpul) untuk mengorganisasikan bentuk-bentuk tersebut, sehingga luput dari tata rupa yang padu. Mirip orkestrasi yang gagal mengorganisasikan harmoni dengan baik. Atau mudah pula ditemukan karya yang ‘ngelantur’ ke mana-mana, bentuk-bentuk yang aneh, tersusun menjadi atmosfir yang aneh pula, seperti terbius di dunia fantasi, tetapi tidak mengundang perenungan. Dalam kondisi demikian ini, sang seniman berada situasi membayangkan tanpa batas, hingga lepas kontrol. Atau mudah pula ditemukan karya-karya yang terlalu personal dengan bahasanya; garis, bidang warna, tekstur, juga bentuk-bentuk yang hanya mewakili perasaannya sendiri, tanpa upaya menghadirkan atau merepresentasikan bentuk-bentuk gubahanya sebagai representasi atas (tentang) ‘sesuatu’. Seniman berada dalam suasana berpuas-puas sendiri atas gubahan-gubahan yang sumber utamanya adalah perasaannya.

Penjelasan di atas menunjukkan ketika seniman berada di ruang yang ekstrim; hanya semata-mata berpikir, hanya semata-mata membayangkan, dan hanya semata-mata merasakan, sambil mengabaikan aspek ketrampilan (dalam menaklukkan material dan teknik), dalam menggubah bentuk dan menemukan metafora, abai terhadap aspek sensibilitas dan sesnsitivitas, serta abai terhadap aspek keberpihakan pada ‘sesuatu’ secara kuat. Dengan kata lain, seorang seniman (baca: antara lain pelukis), idealnya berada dalam keseimbangan seluruh aspek.

Di dalam terminologi filsafat dijelaskan dengan baik ikhwal imajinasi, ilusi, khayalan, dan fantasi, berikut batas-batasnya. Salah satunya adalah kajian H. Tedjoworo tentang kedua pokok soal itu (imaji dan imajinasi), yang menunjukkan, bahwa sering terjadi kesalahkaprahan dalam penggunaan istilah imajinasi, yang menyamakannya dengan ilusi, khayalan, dan fantasi. Ia menjelaskan, “istilah “fantasi” itu lebih berkaitan dengan daya untuk membayangkan sesuatu, khususnya hal yang tidak real atau yang tidak mungkin terjadi. Fantasi juga bisa diartikan mirip dengan khayalan”. Sementara, “ilusi adalah ‘ide, keyakinan, atau kesan yang salah tentang sesuatu’; persepsi atau konsepsi yang keliru tentang sesuatu” (ilusi, jelas Tedjoworo, dapat diciptakan, maka orang yang ahli disebut sebagai ilusionis). Tentang imajinasi dijelaskan, “... imajinasi dapat dipahami sebagai daya yang menghasilkan gambaran objek yang mungkin (= dapat ada) atau “logis”. Imajinasi tidaklah bersangkutan dengan penggambaran yang membabi buta dan serabutan tentang suatu objek (yang statis atau dinamis) maupun konsep tertentu” (H. Tedjoworo, 2001; 22-23).

Secara sederhana dapat dipahami, bahwa imajinasi (berimajinasi) merupakan proses mental dan intelektual, karena tetap mempertimbangkan logika, mempertimbangkan apakah ‘sesuatu’ itu masuk akal (logis) atau tidak. Sementara berfantasi lebih terkait dengan aktivitas membayangkan nyaris tanpa batas, hingga mencapai situasi unreal, atau surreal. Lalu bagaimanakah memahami fase merasakan (perasaan)? Saya memahami fase ini sebagai proses kontemplasi dalam praksis; yakni ‘bagaimana mengolah dan mengasah sensitivitas dan sensibilitas’. Tanpa kedua hal ini (sensitivitas dan sensibilitas), saya meyakini, karya seni rupa, juga karya seni pada umumnya, hanya merupakan onggokan benda-benda yang berhenti pada hasrat untuk meng-indah-indahkan (visual) yang kosong, kenes, genit, dan akhirnya membosankan.

Bagaimana mengolah dan mengasah sensitivitas dan sensibilitas? Tentu dengan banyak cara, tergantung selera setiap seniman. Akan tetapi, beberapa hal pantas diperhatikan sebagai modus yang bisa digunakan antara lain; memiliki ketekunan untuk menajamkan gagasan, membuka berbagai kemungkinan (perspektif) atas gagasan tersebut, memiliki kesabaran untuk mengamati langsung ‘benda-benda’ atau ‘peristiwa’ yang menarik baginya. Dengan kata lain, harus dihindari atau diminimalkan kebiasaan yang bertumpu pada rekayasan citraan, sebutlah fotografi (semata-mata fotografi), bersandar pada olahan-olahan (rekayasa) komputer (misalnya photoshop), atau rekayasa lainnya, yang kecenderungannya hanya mengejar ‘keanehan dan keunikan’ tata rupa, dan sangat berpotensi mereduksi nalar.

Nalar memberi sumbangan vital pada isi seni, demikian Donald B. Calne memberikan penegasan tentang posisi nalar pada seni. Kemudian untuk memperkuat pernyataannya, ia mengutip ungkapan Leonardo da Vinci: “Pelukis yang menggambar berdasarkan kebiasaan atau pertimbangan indera penglihatan belaka tanpa menggunakan nalar, ibarat cermin yang memantulkan apa saja yang ada di hadapannya tanpa mengetahui apa-apa mengenai keduanya”. Pernyataan ini paralel dengan ungkapan Tedjoworo tentang ‘penggambaran yang membabi buta dan serabutan’. Nalar juga memberikan sumbangan pada teknik, misalnya dalam menetapkan dalil-dalil perspektif dan menemukan sifat-sifat cahaya (Donald B. Calne, 2004; 285-286). Pernyataan itu menjelaskan dan menegaskan tentang kasus yang sering ditemukan, misalnya; sejumlah karya yang visualnya tampak indah tetapi kosong (isi), atau sebaliknya karya yang terlihat sarat beban (isi) tetapi gagal dalam tata rupa. Hal ini terjadi karena sang seniman terkooptasi (terbuai) oleh permainan tata rupa, atau sebaliknya hanya oleh gagasannya.

Jika akhirnya produk karya yang dihasilkan njomplang secara ekstrim, maka dalam perspektif “kerja berkesenian” dapat dikatakan gagal. Karena pada dasarnya, secara ideal, karya seni rupa, atau karya seni pada umumnya, memiliki kekuatan memprovokasi ‘keindahan’ dan ‘ideologi’ serta ‘memberikan pencerahan’ bagi masyarakat luas. Seperti ditegaskan oleh Donald V. Calne (2004), bahwa “Setiap jenis kesenian paling baik dalam menyampaikan serba-rasa, jika ditujukan kepada masyarakat pendukung kebudayaannya”.

Gatot & Suraya: Suara Tentang Ruang

Berdasarkan penjelasan semacam itu, maka kini saatnya melihat fenomena rupa dari kedua pelukis ini. Pada dasarnya, kedua pelukis ini – Gatot Indra Jati (Gatot) dan Suraya – memiliki bahasa dan cara ungkap yang berbeda.

Gatot menyikapi kanvasnya adalah arena atau panggung teater. Ia mengimajinasikan suatu fragmen peristiwa, kadang berskala sempit, kadang berskala luas, dan kadang tentang suasana yang ‘aneh’ yang disebabkan oleh perspektif maupun tentang realitas yang diimajinasikan. Figur-figur yang mencitrakan boneka kayu – dan Gatot memang piawai merakitnya sendiri, berbahan kayu, menjadi bentuk-bentuk tiga dimensional – menjadi para aktor (juga figuran) yang tengah memerankan tokoh tertentu, kadang tak jelas, namun demikian hidup. Beberapa contoh akan saya urai, seperti berikut ini.

Dua sosok berukuran lebih besar, duduk, tepatnya jongkok di atas kursi, pada masing-maisng ujung meja. Posisi berhadap-hadapan. Mereka seperti tengah memainkan bidak-bidang “catur” yang bentuknya seperti para prajurit perang, berukuran mini. Sebagian bidak atau para tentara bersenjatakan anak panah itu, bergelayutan di atasnya dengan tali. Sebagian lainnya ada yang nggelimpang di lantai. Semua sosok, baik yang maksi mau pun yang mini, terbuat dari potongan-potongan kayu yang dirakit, menjadi mirip boneka kayu. Itulah karakter utama karya Gatot sampai hari ini. Karya ini (“Self Dialogue”, 2008) menghadirkan tafsir konotatif; tentang dua ‘aktor intelektual’ yang demikian suntuk memainkan para ‘bidak’, dan menciptakan kekacauan sebagai target dari pencapaian puncak ekstasenya. Karya ini terasa aktual sekaligus kontekstual.

Sebuah karya yang mampu menghadirkan suasana musikal, berhasil digubah Gatot dengan memikat (lihat karya “Homy Blues”, 2008). Tujuh figur besar, enam memainkan alat musik, seorang lagi, bersosok boneka kayu, seperti berkulit hitam dan berambut keriting, sebagai vokalisnya. Para ‘kurcaci kayu’ berukuran mini, bertebaran di mana-mana, sebagian bergelantungan dengan tali, mencitrakan suasana dansa-dansi. Terasa di sana, pada karya itu, petikan bas, gitar, melodi, drum, sax, juga piano, yang bersahutan penuh improvisasi, serta lengkingan sang biduan yang menyayat-nyayat, seolah mengabarkan situasi penolakan, represi komunitas kulit hitam di tengah mayoritas kulit putih. Karya ini, sekali lagi, menyuarakan ruang musikal yang menarik dan kuat.

Suasana ngelangut, kesepian, juga ikhwal ruang yang relatif, berhasil dihadirkan dalam karya “5 Dimension” dan “Friendly”. Sementara pada karya “Mr. Cook”, sang koki tengah sibuk memasak, dengan sejumlah sayuran segar (ditampilkan dengan pendekatan realistik), dan rak yang menyimpan ‘daging segar’ berupa ayam dan babi yang masih hidup dalam kandangnya. Kontras-kontras semacam itu, menghadirkan suasana yang sensasional.

Ruang dalam pemahaman Gatot adalah ruang yang hidup, yang riuh, yang bergerak, atau ruang yang menghadirkan kedalaman perasaan. Karya-karya Gatot terasa intim, terasa mungkin, sekaligus terasa aneh atau bahkan absurd. Nalar kita akan bergerak, bahwa sesungguhnya itulah realitas ruang hari ini yang mengepung kita. Di depan realitas maya, misalnya, kita bisa berselancar dan tamasya pada lapis-lapis realitas yang lain, atau sebaliknya menjadi terepresi oleh peristiwa yang mendera dari ruang maya itu. Gatot memanfaatkan ruang-ruang itu, menggubahnya menjadi tata dunia imajiner yang menggugah.

Bagaimana dengan karya-karya Suraya? Berbeda dengan Gatot dalam hal fokus, Suraya lebih mengoptimalkan ikhwal fantasi. Meski Suraya berpangkal pada realitas sehari-hari yang dengan mudah ditemukan di sekitarnya, namun konstruksi visualnya secara utuh menjadi ‘tidak nyata’. Sesungguhnya ia didera oleh ide-ide yang bermuatan komentar sosial. Tetapi dalam prosesnya, Suraya tampaknya terinterupsi oleh sejumlah tendensi; ingin memainkan analogi, yang dihasratkan menjadi metafora, untuk “menyamarkan” pesan. Mungkin ia menghindari kesan verbal, atau kesan seperti terlalu terus-terang. Namun akibatnya, seringkali dalam karya-karya Suraya terdapat sejumlah bentuk yang gagal menyuarakan pesan. Dengan kata lain, bentuk-bentuk itu gagal dikonstruksi sebagai metafora, atau sebutlah sebagai ‘bahasa ucap’. Kelebihan Suraya adalah kemampuannya menghadirkan panorama yang surrealistik. Sejumlah karya dapat diurai, untuk memahami bagaimana Suraya menyampaikan pesan (suara) melalui sejumlah bentuk.

Seorang nenek, dengan tatapan kosong, wajahnya ditopang oleh kedua tangannya yang keriput. Bentuk tangan yang keriput itu diulang dua kali di bidang kanan (depan) sang nenek, diikuti oleh bentuk-bentuk ranting yang meranggas (karya “Tentang Ranting”, 2008). Nenek dan ranting menjadi sebangun; mengisyaratkan ‘ketuaan’ yang meranggas.

Atau karya “Embrace the Green” (2008); dua tangan yang keriput, tengah memeluk ranting-ranting yang meranggas, di belakangnya terlukis panorama damai yang hijau. Bidang sebelah kanan, daun jati yang rontok, mulai terbakar. Kehendak untuk memeluk (menyelamatkan) lahan, lingkungan, atau bumi yang hijau, sesungguhnya dalam situasi terancam (kering, meranggas, dan api).

Cara pandang pesimistik juga ditampakkan Suraya dalam karya “Borneo” (2008); lelaki bertato motif Kalimantan itu, pandangannya tertunduk, tanpa ekspresi, sementara kepalanya adalah berupa hutan yang meranggas, tinggal puing-puing tonggak kayu sisa penebangan dan pembakaran. Beberapa daun kering rontok di sekitarnya. Suara tentang ruang lingkungan yang hancur.

Suraya tidak lantas kehilangan harapan. Di tengah lingkungan alam yang bergolak, masih terdapat telur-telur, sebagian tinggal berupa cangkang, di bawah ranting-ranting yang meranggas (karya “Introspection World”, 2008). Telur mengisyaratkan harapan akan lahirnya ‘generasi baru’ dan kehidupan baru.

Secara umum, Suraya bertutur dengan simbolik. Realitas didramatisasikan, menjadi pesan-pesan yang terselubung. Resikonya, interpretasi bisa terlalu liar, dan pesan menjadi tidak efektif.

Karya Gatot dan karya Suraya mengisyaratkan satu hal yang sama; yakni tentang “dialektika ‘ruang’”, tentang kehidupan yang penuh drama. Dari sana, terdapat ruang-ruang isyarat; tentang dialog, tentang hasrat, juga tentang pertentangannya sekaligus. Karya-karya kedua pelukis ini berpotensi menggugah kesadaran tentang banyak hal; dari kegembiraan, kesunyian, ketuaan, lingkungan yang terancam, perasaan teralienasi, hingga batas akhir. Tak ada yang abadi, kecuali ‘berakhir’. Karena itu, menjadilah bermakna bagi lingkungan, bagi kehidupan, dan bagi kemanusiaan seluas-luasnya.

Yogyakarta, 16 Agustus 2008