Jumat, 19 Desember 2008

Pameran Tunggal Seni Visual Isur Suroso "Benang Merah"


19 Desember - 27 Desember 2008

Sri sasanti gallery kembali menyelenggarakan pameran tunggal seni visual seorang pelukis muda berbakat bernama Suroso (Isur), bertema "Benang Merah". Menampilkan sekitar belasan karya lukisan, pameran ini akan berlangsung dari tgl 19 Desember - 27 Desember 2008, bertempat di srisasanti gallery, Jl. Palagan Tentara Pelajar No. 52 A Sleman Yogyakarta. Pameran ini dikuratori oleh Suwarno Wisetrotomo.
Isur Suroso, adalah seorang pelukis yang dikepung oleh situasi jiwa yang kompleks; masa lalu yang buram, cinta yang kandas, cemas terhadap masa depan, bahkan perasaan sedih dan terteror yang terus meneror. Isur adalah seseorang yang cenderung feminin, dan bahkan merasa lemah menghadapi trauma masa lalu berikut serangkaian kisahnya. Ia merasa, hanya bisa mengemukakan semuanya itu lewat karya-karya lukisan. Namun Suroso tidak memilih cara yang cepat untuk menuturkan semuanya itu dengan, misalnya, gambar corat-coret yang ekspresif dan banal. Sebaliknya, ia memilih jalan dan pendekatan realistik, sebuah cara yang membutuhkan ketekunan dan kecermatan.
Suroso mengelola dunia batinnya yang pekat dengan melukis realistik; pelan-pelan, lapis demi lapis, seperti membongkar lapisan-lapisan kulit yang membungkus jiwa dan pikirannya, untuk memburu "isi dan inti" yang mencerahkan. Hampir semua karyanya dengan figur perempuan muda dan catik. Dan memang, di sekitar sosok perempuan itulah Suroso memendam luka. Perempuan cantik, halus, tetapi memiliki potensial "melukai" jiwa yang begitu dalam.
"Benang Merah" sebagai tajuk kuratorial dalam pameran ini, mengisyaratkan beberapa hal; baik sebagai benang yang 'merajut' luka-luka (jiwa), maupun sebagai 'perangkai banyak faktor yang mengisyaratkan satu persoalan dalam satu pengertian'. Karya-karya Isur Suroso, mengisyaratkan tentang perlawanan (dirinya) terhadap rasa cemas yang merepresi, juga masa lalu yang meneror, melalui sosok-sosok muda, lembut, dan cantik. Sosok-sosok yang sesungguhnya sangat rapuh, penuh luka-luka di beberapa bagian tertentu, dan dijahit oleh benang-benang merah yang berseliweran di sekitarnya. Sebuah panorama yang jauh dari watak menggoda, namun mewujud oleh dorongan untuk mencari cahaya terang.

Malam pembukaan : Jum'at, 19 Desember 2008
Pukul : 19.30
Pameran dikuratori oleh Suwarno Wisetrotomo
Pameran ini dibuka oleh Marie Le Sourd (Direktur Lembaga Indonesia Perancis Yogyakarta)
Dimeriahkan oleh pertunjukan : Haeng Bok Dancer

Untuk keterangan lebih lanjut mengenai pameran ini bisa menghubungi:
Srisasanti Gallery
Gallery: Jl. Palagan Tentara Pelajar No. 52A , Sleman Yogyakarta
Telp/Fax: (0274) 866 765
Head Office: Jl. Tentara Rakyat Mataram No. 5 , Bumijo Jetis Yogyakarta
Telp: (0274) 561 992

Email: info@srisasanti.com, srisasanti@yahoo.com

Contact person
Fery Oktanio Program Manager (081322903168)

Didukung oleh :













Suasana Malam Pembukaan Pameran Tunggal Isur Suroso "Benang Merah"











Waiting #2 (season of hope series), oil on canvas, 200x180 cm, 2008

abandoned #1, charcoal&oil on canvas,120x100 cm, 2008

Therapy of silence #3, oil on canvas, 100x140 cm, 2008

Senin, 27 Oktober 2008

Pameran Tunggal Seni Patung "Deviasi seri Kuda" Syahrizal Koto

30 Oktober - 10 November 2008
Srisasanti Gallery, untuk pertama kalinya, menyelenggarakan Pameran Tunggal Seni Patung, seniman asal Padang, Syahrizal Koto, bertema “Deviasi seri Kuda”. Menampilkan sekitar 20an karya patung bertema kuda. Pameran ini akan berlangsung dari tanggal 30 Oktober sampai 10 November 2008. bertempat di Srisasanti Gallery, Jl. Palagan Tentara Pelajar no. 52 A Sleman, Yogyakarta. Pameran ini dikuratori oleh Mikke Susanto.

Deviasi Kuda Koto
Syahrizal Koto adalah seorang praktisi patung lulusan ISI Yogyakarta tahun 1991. Telah berpameran tunggal 7 kali dan tak terhitung telah berpameran bersama di berbagai tempat di tanah air. Secara umum patung-patung Syahrizal Koto memiliki tema beragam. Ragam karya tersebut antara lain: figur amorf, aktivitas manusia, binatang, dan alam. Secara spesifik, pameran ini hanya mengetengahkan karya-karya bertema binatang, khususnya pada karya-karya seri kuda.
Seri binatang kuda telah dikerjakan Syahrizal Koto sepanjang tahun 1992-2008. Dalam pameran ini tersaji sejumlah 20an lebih karya-karya yang ber-subject matter kuda, berjenis free standing sculpture atau patung-patung yang berdiri tunggal. Secara umum ia masih memakai kacamata modernis sebagai pendekatan berkarya. Dengan bahan logam (kebanyakan perunggu) ia banyak mengolah bentuk-bentuk formal kuda.
Dari semua karya seri kudanya, selain menggarap dari sisi bentuk tubuh, ia juga mengangkat tema keakraban hubungan antara kuda dan manusia. Pada aspek tema dan ide kebentukan, seri kuda Koto terdiri tiga jenis atau seri tema, yaitu tema ‘eksplorasi tubuh kuda’, tema ‘fantasi’ dan seri ‘penunggang kuda’. Penggayaannya berkisar pada eksplorasi bentuk kuda secara utuh dan tunggal dengan pendekatan visual deformasi, terutama pemiuhan tubuh kuda dari gemuk ke kurus.
Tradisi deformasi yang dilakukan Koto sejak awal hingga saat ini kemudian memunculkan makna baru, Deviasi : semangat untuk melakukan penyimpangan secara terus-menerus. Dengan imajinasi semacam ini, Koto seakan-akan tidak pernah kehabisan ide dan kreativitas untuk menggali kuda, manusia, atau bentuk-bentuk amorf pada patung-patungnya.


Malam Pembukaan: Kamis, 30 Oktober 2008
Pukul: 19.30 WIB
Pameran dikuratori oleh Mikke Susanto
Dimeriahkan oleh Musik: Jogja Cello Ensemble

Untuk keterangan lebih lanjut mengenai pameran ini bisa menghubungi:
Srisasanti Gallery
Galeri: Jl. Palagan Tentara Pelajar No. 52 A, Sleman, Yogyakarta
Telp/Fax: (0274) 866 765

Head Office: Jln. Tentara Rakyat Mataram no.5 , Bumijo, Jetis Yogyakarta
Telp. 0274 561 922

Email: info@srisasanti.com
dan srisasanti@yahoo.com

Contact Person:
Fery Oktanio Program Manager (081322903168)

Minggu, 26 Oktober 2008

Opening Night of Gatot-Suraya Exhibition

Malam Pembukaan Pameran Gatot Indrajati dan Suraya, pada tanggal 06 Sptember 2008 di Srisasanti Gallery, pukul 19.30 WIB :















Kamis, 04 September 2008

DUO EXHIBITION: Gatot Indrajati - Suraya


“DIALEKTIKA RUANG”

06 – 25 September 2008

Kurator: Suwarno Wisetrotomo

Srisasanti Gallery kali ini kembali menggelar pameran yang menampilkan dua orang seniman-lukis muda yang mempunyai talenta luar biasa. Pameran akan berlangsung dari tanggal 06 September – 25 September 2008, bertempat di Srisasanti Gallery, Jalan Palagan Tentara Pelajar No.52 A Sleman, Yogyakarta. Pameran ini dikuratori oleh Suwarno Wisetrotomo.

Dengan menghadirkan kurang lebih 20 karya lukisannya, mereka, Gatot Indrajati dan Suraya, mempersembahkan segala pemikiran dan perenungan mereka atas ruang. “Dialektika Ruang” adalah tema yang membingkai pameran mereka berdua. Sebuah kolaborasi pikiran atas kenyataan imajiner bernama: ‘ruang’ yang bisa berarti apa saja; sebuah kehidupan atau drama yang tak pernah berakhir. Bisa juga tentang dialog, tentang hasrat, juga tentang pertentangannya sekaligus. Karya-karya kedua pelukis ini berpotensi menggugah kesadaran tentang banyak hal; dari kegembiraan, kesunyian, lingkungan yang terancam, perasaan teralienasi, hingga batas akhir.

Gatot Indrajati dan Suraya

Gatot Indrajati, adalah pelukis muda berbakat yang namanya mulai mencuat ketika diumumkan sebagai salah satu dari 5 orang pemenang kompetisi “Indonesia Art Award 2008”. Karyanya yang berjudul “War for Fun” adalah sebentuk sikap ironinya terhadap situasi hari ini. Ketertarikannya kepada kayu atau boneka kayu, membuat visual karya-karyanya tampak unik, lucu, dan menarik. Dari prestasi dan kemudaan usianya, Gatot akan menjadi harapan masa depan atas seniman Indonesia yang berkualitas.

Suraya merupakan pelukis dengan talenta realistik yang luar biasa. Pernah belajar khusus kepada Yuswantoro Adi dan Hadi Susanto yang dikenal sebagai pelukis-pelukis realistik Jogja, membawanya kepada suguhan visualnya seperti sekarang. Kepeduliannya kepada tema-tema lingkungan, seolah memberikan moment bagi teknik realistiknya untuk berkembang dan mencapai kesempurnaan. Realisme foto dan interpretasinya yang menarik dalam menggunakan teknik kolase citraan gambar, membuat visual karyanya tidak hanya ala kadarnya namun menohok kesadaran yang melihatnya. Sebagaimana Gatot, Suraya merupakan benih bagi masa depan seni rupa Indonesia yang mumpuni.

Malam Pembukaan: Sabtu, 06 September 2008

Pukul: 19.30 WIB

Pameran dikuratori sekaligus akan dibuka oleh Suwarno Wisetrotomo

Dimeriahkan oleh: Musik, Ruzan & Gigs (Blues)

Untuk keterangan lebih lanjut mengenai pameran ini bisa menghubungi:

Srisasanti

Galeri: Jl. Palagan Tentara Pelajar No. 52 A, Sleman, Yogyakarta

Telp/Fax: (0274) 866 765

Head Office: Jln. Tentara Rakyat Mataram no.5 Jetis, Bumijo, Yogyakarta

Telp. 0274 561 922

Email: info@srisasanti.com

dan srisasanti@yahoo.com

Contact Person:

Fery Oktanio Program Manager (081322903168)


Didukung oleh:






http://kronikajogja.blogspot.com



Dialektika “Ruang”

Catatan Kuratorial: Suwarno Wisetrotomo

Adakah batas dan perbedaan, antara “yang dipikirkan” dengan “yang dibayangkan”? Lalu di manakah pula “yang dirasakan” berada? Ketiga hal ini adalah perkara aktivitas “memikirkan”, “membayangkan”, dan “merasakan” yang berpeluang saling tumpang tindih, serta berebut posisi terpenting dalam keseluruhan proses kreatif seorang seniman. Pada area itulah seorang seniman, atau perupa, berada dalam tegangan yang mendera, dan tak jarang membuat suasana (dirinya) menjadi penuh tekanan. Fenomenanya beragam; ada yang demikian dikuasai oleh “pikirannya” hingga dirinya terbelit dan tertimpa pikirannya sendiri. Ada pula yang demikian larut oleh “bayangannya” hingga dirinya tenggelam dalam bayangannya sendiri. Serta ada pula yang demikian terbius oleh “perasaannya” hingga dirinya menjadi kehilangan nalar atau akal sehatnya.

Pada umumnya, seniman mudah kisruh dan larut ke dalam situasi ketiga-tiganya. Antara memikirkan, membayangkan, dan merasakan, tidak sempat dicermati dan dipetakan. Hal demikian bisa dilacak melalui produk karyanya. Betapapun, produk karya seni rupa (baca: antara lain lukisan) adalah cerminan dari pola dan struktur pikiran, ideologi, sikap hidup dan kehidupan, serta hasrat pengucapan seorang seniman. Di sekitar kita, mudah ditemukan karya-karya yang demikian berat dimuati semacam pesan produk pikiran senimannya; semua yang ada dalam kepalanya ingin diungkapkan. Karena itu, karyanya – dalam bidang gambarnya – penuh sesak dengan bentuk, yang dihasratkan mewakili pikiran-pikirannya, betapapun sangat fragmentatif, dan mungkin saling tidak nyambung. Biasanya, dalam kondisi demikian, sang seniman lupa atau abai (bisa juga tumpul) untuk mengorganisasikan bentuk-bentuk tersebut, sehingga luput dari tata rupa yang padu. Mirip orkestrasi yang gagal mengorganisasikan harmoni dengan baik. Atau mudah pula ditemukan karya yang ‘ngelantur’ ke mana-mana, bentuk-bentuk yang aneh, tersusun menjadi atmosfir yang aneh pula, seperti terbius di dunia fantasi, tetapi tidak mengundang perenungan. Dalam kondisi demikian ini, sang seniman berada situasi membayangkan tanpa batas, hingga lepas kontrol. Atau mudah pula ditemukan karya-karya yang terlalu personal dengan bahasanya; garis, bidang warna, tekstur, juga bentuk-bentuk yang hanya mewakili perasaannya sendiri, tanpa upaya menghadirkan atau merepresentasikan bentuk-bentuk gubahanya sebagai representasi atas (tentang) ‘sesuatu’. Seniman berada dalam suasana berpuas-puas sendiri atas gubahan-gubahan yang sumber utamanya adalah perasaannya.

Penjelasan di atas menunjukkan ketika seniman berada di ruang yang ekstrim; hanya semata-mata berpikir, hanya semata-mata membayangkan, dan hanya semata-mata merasakan, sambil mengabaikan aspek ketrampilan (dalam menaklukkan material dan teknik), dalam menggubah bentuk dan menemukan metafora, abai terhadap aspek sensibilitas dan sesnsitivitas, serta abai terhadap aspek keberpihakan pada ‘sesuatu’ secara kuat. Dengan kata lain, seorang seniman (baca: antara lain pelukis), idealnya berada dalam keseimbangan seluruh aspek.

Di dalam terminologi filsafat dijelaskan dengan baik ikhwal imajinasi, ilusi, khayalan, dan fantasi, berikut batas-batasnya. Salah satunya adalah kajian H. Tedjoworo tentang kedua pokok soal itu (imaji dan imajinasi), yang menunjukkan, bahwa sering terjadi kesalahkaprahan dalam penggunaan istilah imajinasi, yang menyamakannya dengan ilusi, khayalan, dan fantasi. Ia menjelaskan, “istilah “fantasi” itu lebih berkaitan dengan daya untuk membayangkan sesuatu, khususnya hal yang tidak real atau yang tidak mungkin terjadi. Fantasi juga bisa diartikan mirip dengan khayalan”. Sementara, “ilusi adalah ‘ide, keyakinan, atau kesan yang salah tentang sesuatu’; persepsi atau konsepsi yang keliru tentang sesuatu” (ilusi, jelas Tedjoworo, dapat diciptakan, maka orang yang ahli disebut sebagai ilusionis). Tentang imajinasi dijelaskan, “... imajinasi dapat dipahami sebagai daya yang menghasilkan gambaran objek yang mungkin (= dapat ada) atau “logis”. Imajinasi tidaklah bersangkutan dengan penggambaran yang membabi buta dan serabutan tentang suatu objek (yang statis atau dinamis) maupun konsep tertentu” (H. Tedjoworo, 2001; 22-23).

Secara sederhana dapat dipahami, bahwa imajinasi (berimajinasi) merupakan proses mental dan intelektual, karena tetap mempertimbangkan logika, mempertimbangkan apakah ‘sesuatu’ itu masuk akal (logis) atau tidak. Sementara berfantasi lebih terkait dengan aktivitas membayangkan nyaris tanpa batas, hingga mencapai situasi unreal, atau surreal. Lalu bagaimanakah memahami fase merasakan (perasaan)? Saya memahami fase ini sebagai proses kontemplasi dalam praksis; yakni ‘bagaimana mengolah dan mengasah sensitivitas dan sensibilitas’. Tanpa kedua hal ini (sensitivitas dan sensibilitas), saya meyakini, karya seni rupa, juga karya seni pada umumnya, hanya merupakan onggokan benda-benda yang berhenti pada hasrat untuk meng-indah-indahkan (visual) yang kosong, kenes, genit, dan akhirnya membosankan.

Bagaimana mengolah dan mengasah sensitivitas dan sensibilitas? Tentu dengan banyak cara, tergantung selera setiap seniman. Akan tetapi, beberapa hal pantas diperhatikan sebagai modus yang bisa digunakan antara lain; memiliki ketekunan untuk menajamkan gagasan, membuka berbagai kemungkinan (perspektif) atas gagasan tersebut, memiliki kesabaran untuk mengamati langsung ‘benda-benda’ atau ‘peristiwa’ yang menarik baginya. Dengan kata lain, harus dihindari atau diminimalkan kebiasaan yang bertumpu pada rekayasan citraan, sebutlah fotografi (semata-mata fotografi), bersandar pada olahan-olahan (rekayasa) komputer (misalnya photoshop), atau rekayasa lainnya, yang kecenderungannya hanya mengejar ‘keanehan dan keunikan’ tata rupa, dan sangat berpotensi mereduksi nalar.

Nalar memberi sumbangan vital pada isi seni, demikian Donald B. Calne memberikan penegasan tentang posisi nalar pada seni. Kemudian untuk memperkuat pernyataannya, ia mengutip ungkapan Leonardo da Vinci: “Pelukis yang menggambar berdasarkan kebiasaan atau pertimbangan indera penglihatan belaka tanpa menggunakan nalar, ibarat cermin yang memantulkan apa saja yang ada di hadapannya tanpa mengetahui apa-apa mengenai keduanya”. Pernyataan ini paralel dengan ungkapan Tedjoworo tentang ‘penggambaran yang membabi buta dan serabutan’. Nalar juga memberikan sumbangan pada teknik, misalnya dalam menetapkan dalil-dalil perspektif dan menemukan sifat-sifat cahaya (Donald B. Calne, 2004; 285-286). Pernyataan itu menjelaskan dan menegaskan tentang kasus yang sering ditemukan, misalnya; sejumlah karya yang visualnya tampak indah tetapi kosong (isi), atau sebaliknya karya yang terlihat sarat beban (isi) tetapi gagal dalam tata rupa. Hal ini terjadi karena sang seniman terkooptasi (terbuai) oleh permainan tata rupa, atau sebaliknya hanya oleh gagasannya.

Jika akhirnya produk karya yang dihasilkan njomplang secara ekstrim, maka dalam perspektif “kerja berkesenian” dapat dikatakan gagal. Karena pada dasarnya, secara ideal, karya seni rupa, atau karya seni pada umumnya, memiliki kekuatan memprovokasi ‘keindahan’ dan ‘ideologi’ serta ‘memberikan pencerahan’ bagi masyarakat luas. Seperti ditegaskan oleh Donald V. Calne (2004), bahwa “Setiap jenis kesenian paling baik dalam menyampaikan serba-rasa, jika ditujukan kepada masyarakat pendukung kebudayaannya”.

Gatot & Suraya: Suara Tentang Ruang

Berdasarkan penjelasan semacam itu, maka kini saatnya melihat fenomena rupa dari kedua pelukis ini. Pada dasarnya, kedua pelukis ini – Gatot Indra Jati (Gatot) dan Suraya – memiliki bahasa dan cara ungkap yang berbeda.

Gatot menyikapi kanvasnya adalah arena atau panggung teater. Ia mengimajinasikan suatu fragmen peristiwa, kadang berskala sempit, kadang berskala luas, dan kadang tentang suasana yang ‘aneh’ yang disebabkan oleh perspektif maupun tentang realitas yang diimajinasikan. Figur-figur yang mencitrakan boneka kayu – dan Gatot memang piawai merakitnya sendiri, berbahan kayu, menjadi bentuk-bentuk tiga dimensional – menjadi para aktor (juga figuran) yang tengah memerankan tokoh tertentu, kadang tak jelas, namun demikian hidup. Beberapa contoh akan saya urai, seperti berikut ini.

Dua sosok berukuran lebih besar, duduk, tepatnya jongkok di atas kursi, pada masing-maisng ujung meja. Posisi berhadap-hadapan. Mereka seperti tengah memainkan bidak-bidang “catur” yang bentuknya seperti para prajurit perang, berukuran mini. Sebagian bidak atau para tentara bersenjatakan anak panah itu, bergelayutan di atasnya dengan tali. Sebagian lainnya ada yang nggelimpang di lantai. Semua sosok, baik yang maksi mau pun yang mini, terbuat dari potongan-potongan kayu yang dirakit, menjadi mirip boneka kayu. Itulah karakter utama karya Gatot sampai hari ini. Karya ini (“Self Dialogue”, 2008) menghadirkan tafsir konotatif; tentang dua ‘aktor intelektual’ yang demikian suntuk memainkan para ‘bidak’, dan menciptakan kekacauan sebagai target dari pencapaian puncak ekstasenya. Karya ini terasa aktual sekaligus kontekstual.

Sebuah karya yang mampu menghadirkan suasana musikal, berhasil digubah Gatot dengan memikat (lihat karya “Homy Blues”, 2008). Tujuh figur besar, enam memainkan alat musik, seorang lagi, bersosok boneka kayu, seperti berkulit hitam dan berambut keriting, sebagai vokalisnya. Para ‘kurcaci kayu’ berukuran mini, bertebaran di mana-mana, sebagian bergelantungan dengan tali, mencitrakan suasana dansa-dansi. Terasa di sana, pada karya itu, petikan bas, gitar, melodi, drum, sax, juga piano, yang bersahutan penuh improvisasi, serta lengkingan sang biduan yang menyayat-nyayat, seolah mengabarkan situasi penolakan, represi komunitas kulit hitam di tengah mayoritas kulit putih. Karya ini, sekali lagi, menyuarakan ruang musikal yang menarik dan kuat.

Suasana ngelangut, kesepian, juga ikhwal ruang yang relatif, berhasil dihadirkan dalam karya “5 Dimension” dan “Friendly”. Sementara pada karya “Mr. Cook”, sang koki tengah sibuk memasak, dengan sejumlah sayuran segar (ditampilkan dengan pendekatan realistik), dan rak yang menyimpan ‘daging segar’ berupa ayam dan babi yang masih hidup dalam kandangnya. Kontras-kontras semacam itu, menghadirkan suasana yang sensasional.

Ruang dalam pemahaman Gatot adalah ruang yang hidup, yang riuh, yang bergerak, atau ruang yang menghadirkan kedalaman perasaan. Karya-karya Gatot terasa intim, terasa mungkin, sekaligus terasa aneh atau bahkan absurd. Nalar kita akan bergerak, bahwa sesungguhnya itulah realitas ruang hari ini yang mengepung kita. Di depan realitas maya, misalnya, kita bisa berselancar dan tamasya pada lapis-lapis realitas yang lain, atau sebaliknya menjadi terepresi oleh peristiwa yang mendera dari ruang maya itu. Gatot memanfaatkan ruang-ruang itu, menggubahnya menjadi tata dunia imajiner yang menggugah.

Bagaimana dengan karya-karya Suraya? Berbeda dengan Gatot dalam hal fokus, Suraya lebih mengoptimalkan ikhwal fantasi. Meski Suraya berpangkal pada realitas sehari-hari yang dengan mudah ditemukan di sekitarnya, namun konstruksi visualnya secara utuh menjadi ‘tidak nyata’. Sesungguhnya ia didera oleh ide-ide yang bermuatan komentar sosial. Tetapi dalam prosesnya, Suraya tampaknya terinterupsi oleh sejumlah tendensi; ingin memainkan analogi, yang dihasratkan menjadi metafora, untuk “menyamarkan” pesan. Mungkin ia menghindari kesan verbal, atau kesan seperti terlalu terus-terang. Namun akibatnya, seringkali dalam karya-karya Suraya terdapat sejumlah bentuk yang gagal menyuarakan pesan. Dengan kata lain, bentuk-bentuk itu gagal dikonstruksi sebagai metafora, atau sebutlah sebagai ‘bahasa ucap’. Kelebihan Suraya adalah kemampuannya menghadirkan panorama yang surrealistik. Sejumlah karya dapat diurai, untuk memahami bagaimana Suraya menyampaikan pesan (suara) melalui sejumlah bentuk.

Seorang nenek, dengan tatapan kosong, wajahnya ditopang oleh kedua tangannya yang keriput. Bentuk tangan yang keriput itu diulang dua kali di bidang kanan (depan) sang nenek, diikuti oleh bentuk-bentuk ranting yang meranggas (karya “Tentang Ranting”, 2008). Nenek dan ranting menjadi sebangun; mengisyaratkan ‘ketuaan’ yang meranggas.

Atau karya “Embrace the Green” (2008); dua tangan yang keriput, tengah memeluk ranting-ranting yang meranggas, di belakangnya terlukis panorama damai yang hijau. Bidang sebelah kanan, daun jati yang rontok, mulai terbakar. Kehendak untuk memeluk (menyelamatkan) lahan, lingkungan, atau bumi yang hijau, sesungguhnya dalam situasi terancam (kering, meranggas, dan api).

Cara pandang pesimistik juga ditampakkan Suraya dalam karya “Borneo” (2008); lelaki bertato motif Kalimantan itu, pandangannya tertunduk, tanpa ekspresi, sementara kepalanya adalah berupa hutan yang meranggas, tinggal puing-puing tonggak kayu sisa penebangan dan pembakaran. Beberapa daun kering rontok di sekitarnya. Suara tentang ruang lingkungan yang hancur.

Suraya tidak lantas kehilangan harapan. Di tengah lingkungan alam yang bergolak, masih terdapat telur-telur, sebagian tinggal berupa cangkang, di bawah ranting-ranting yang meranggas (karya “Introspection World”, 2008). Telur mengisyaratkan harapan akan lahirnya ‘generasi baru’ dan kehidupan baru.

Secara umum, Suraya bertutur dengan simbolik. Realitas didramatisasikan, menjadi pesan-pesan yang terselubung. Resikonya, interpretasi bisa terlalu liar, dan pesan menjadi tidak efektif.

Karya Gatot dan karya Suraya mengisyaratkan satu hal yang sama; yakni tentang “dialektika ‘ruang’”, tentang kehidupan yang penuh drama. Dari sana, terdapat ruang-ruang isyarat; tentang dialog, tentang hasrat, juga tentang pertentangannya sekaligus. Karya-karya kedua pelukis ini berpotensi menggugah kesadaran tentang banyak hal; dari kegembiraan, kesunyian, ketuaan, lingkungan yang terancam, perasaan teralienasi, hingga batas akhir. Tak ada yang abadi, kecuali ‘berakhir’. Karena itu, menjadilah bermakna bagi lingkungan, bagi kehidupan, dan bagi kemanusiaan seluas-luasnya.

Yogyakarta, 16 Agustus 2008





Sabtu, 05 Juli 2008

Pameran Tunggal I Made Arya Palguna "Ritus Air"

Swim little bear-...swim.(detail) -200x250 cm-acrylic on canvas-2008

undangan



Pada tanggal 7 – 28 Juli 2008, Srisasanti Gallery akan kembali menggelar sebuah Pameran Tunggal Seni Visual; menampilkan seniman asal Bali, I Made Arya Palguna. Pameran Tunggal ini bertajuk “Ritus Air”, dan akan diselenggarakan di Srisasanti Gallery, Jl. Palagan Tentara Pelajar No.
52 A Sleman, Yogyakarta.

Pameran “Ritus Air” Palguna

Dalam pameran kali ini, Palguna menghadirkan berbagai ilustrasi peristiwa-peristiwa yang berkait dengan Air dan akrab dengan kita, diantaranya: tentang pemanasan global, bencana banjir dan lumpur. Peristiwa-peristiwa itu tidak lain adalah kejadian aktual yang kerap kita lihat dan dengar di berbagai media massa.

“Ritus Air” adalah salah satu bentuk penawaran pembacaan kembali Air sebagai salah satu bagian penting dalam hidup manusia. Air, saat ini seolah tidak kita kenali lagi sebagai Air yang bersahabat, namun Air yang berjarak dan merusak. Sebagian bencana yang menimpa negeri ini sebagaimana kita tahu, disebabkan dan terjadi oleh Air. Air yang seharusnya memberikan daya dukung untuk hidup manusia, berganti menjadi maut perenggut kehidupan. Air, mendadak menjadi ancaman yang mencemaskan sekaligus memunculkan pertanyaan atas sikapnya yang berubah. Apa yang salah sehingga Air menjadi sangat tidak ramah?

I Made Arya Palguna mengajak kita untuk merenung kembali bahwa semuanya ternyata akibat ulah manusia sendiri. Manusia yang semena-mena terhadap Air, dan tidak peduli menjaganya sebagaimana yang dilakukan oleh manusia-manusia dahulu. “Ritus Air” seolah ingin mengajak kita kembali memperlakukan Air sebagaimana mestinya. Air yang seharusnya dijaga, sehingga Air pun dapat berbalik menjaga kelangsungan hidup kita.

Pembukaan Pameran :

Senin, 07 Juli 2008, Pukul : 19.00 WIB

Dibuka oleh : KH. D. Zawawi Imron

Musik : Jogja Cello Ensemble

Srisasanti Gallery,

Jl. Palagan Tentara Pelajar No. 52 A, Sleman, Yogyakarta

Telp/Fax: (0274) 866 765

Email: info@srisasanti.com, srisasanti@yahoo.com dan srisasantigallery@gmail.com

Blog: http://srisasantigallery.blogspot.com


Pameran Tunggal ini didukung dan dipublikasikan oleh:






Sabtu, 21 Juni 2008

Pameran Jawa Baru

Pameran "Jawa Baru" didukung dan dipublikasikan oleh: